Accessibility Tools

Plengkung Nirbaya Terancam: Pembatasan Lalu Lintas sebagai Langkah Perlindungan 

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Yogyakarta – Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar Forum Group Discussion (FGD) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Kawasan Alun-alun Kidul Yogyakarta pada Senin, 24 Februari, di Kantor Dinas Perhubungan DIY, Babarsari, Yogyakarta.

Menindaklanjuti rekomendasi UNESCO agar kawasan warisan budaya tetap mempertahankan keasliannya, maka diperlukan pembatasan lalu lintas di kawasan ini.

Kompleks Keraton Yogyakarta memiliki 5 (lima) bangunan plengkung, yang dibangun pada masa pemerintahan Pangeran Mangkubumi atau Hamengku Buwono I, yang berfungsi sebagai pintu atau jalur utama untuk masuk ke Keraton yang dikelilingi tembok besar (beteng). Lima plengkung tersebut adalah Plengkung Tarunasura, Plengkung Jagasura, Plengkung Jagabaya, Plengkung Nirbaya (sering disebut dengan Plengkung Gading), dan Plengkung Madyasura. Dari kelima plengkung tersebut, hanya dua plengkung yang masih terjaga keasliannya yaitu Plengkung Tarunasura dan Plengkung Nirbaya. 

Berdasarkan temuan dari Dinas Kebudayaan DIY pada tahun 2018, ditemukan berbagai kerusakan (keretakan, pecah, berlumut, lapuk, dan lain-lain) pada dinding beteng dan struktur Plengkung Gading, yang disebabkan berbagai faktor. Pertama, pelapukan fisis yang disebabkan oleh air, sinar matahari, perubahan suhu, hujan, dan angin. Kedua, pelapukan biologis, akibat lumut, hewan, dan mikroorganisme. Ketiga, aktivitas manusia yang dapat terjadi secara langsung (disengaja atau tidak) maupun tidak langsung, seperti akibat getaran lalu lintas atau gesekan kendaraan. 

Untuk melindungi Plengkung Nirbaya, Dinas Perhubungan DIY bersama pemangku kepentingan terkait, termasuk BPBD DIY, BASARNAS Yogyakarta, DPUP ESDM DIY, dan Dinas Kebudayaan DIY, akan memberlakukan uji coba pembatasan lalu lintas dengan cara menerapkan manajemen dan rekayasa lalu lintas berupa Sistem Satu Arah (SSA) yang mengatur kendaraan agar hanya diperbolehkan melintas dari utara (dalam beteng) menuju selatan (luar beteng).

Rizki Budi Utomo, Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan DIY, menyampaikan bahwa uji coba tersebut akan dilakukan selama sebulan. Dalam masa uji coba ini, pengawasan akan diperketat, dan kendaraan besar, seperti bus pariwisata, tidak diizinkan melewati Plengkung Nirbaya.

“Dalam uji coba nanti, kita akan mengevaluasi pola arus yang terjadi tanpa merubah pola arus lalu lintas kondisi eksisting di dalam Kawasan Njeron Beteng. Jika ada perubahan, kita harus melihat bagaimana dampaknya terhadap lalu lintas di dalam kawasan ini,” ujar Rizki.

Jadwal uji coba akan dilakukan pada pagi dan sore hari berdurasi 4–8 jam, menyesuaikan kepadatan aktivitas masyarakat selama satu bulan yang akan dilaksanakan mulai minggu ke-dua Maret.

“Jika uji coba ini diterima, maka prosesnya akan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, termasuk komunikasi dan koordinasi di beberapa titik utama bersama sejumlah pihak, termasuk pamong dan perwakilan kelurahan,” ungkap Rizki.

Rizki menambahkan, konsep transportasi yang diusulkan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi adalah meningkatkan transportasi umum.

Akademisi dari Universitas Janabadra Yogyakarta, Dr. Nindyo Cahyo Kresnanto, S.T., M.T., menjelaskan dua hal utama yang perlu diperhatikan terkait dampak lalu lintas terhadap bangunan bersejarah, yaitu getaran (vibration impact) dan polusi lalu lintas (traffic pollution).

“Meskipun tidak terasa secara langsung, getaran dari lalu lintas, terutama kendaraan berat, dapat berdampak pada struktur bangunan. Bangunan-bangunan bersejarah di area ini umumnya masih menggunakan susunan bata dan material yang lebih rentan dibandingkan bangunan modern. Getaran ini dapat menyebabkan retakan halus, kerusakan elemen struktural, degradasi material seperti batu bata dan mortar, serta pelemahan fondasi,” ujarnya.

Berdasarkan beberapa studi di negara lain, polusi lalu lintas juga dapat memengaruhi kondisi material bangunan, terutama dalam jangka panjang. Partikel polusi dapat menyebabkan erosi pada permukaan bangunan dan mempercepat degradasi material.

4

Terkait rekayasa lalu lintas di dalam Kawasan Njeron Beteng yang akan dilaksanakan, Nindyo mengatakan bahwa area dalam beteng bukan termasuk jalur utama bagi lalu lintas menerus (through traffic). Sebagian besar masyarakat yang melewati area ini adalah mereka yang memang memiliki kepentingan di dalamnya.

Nindyo menawarkan beberapa solusi alternatif manajemen dan rekayasa lalu lintas yang mungkin dilakukan untuk melindungi cagar budaya Plengkung Nirbaya, seperti pembatasan lalu lintas kendaraan tertentu atau pembatasan akses kendaraan pada jam-jam tertentu, untuk menjaga keutuhan fisik dan estetika Kawasan Njeron Beteng demi keberlanjutan nilai sejarah dan budaya.

Kajian ini juga mendapat perhatian Akademisi UGM, Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D., dan Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., yang menyoroti meningkatnya aktivitas di Kawasan Keraton, baik dalam jumlah kunjungan maupun perubahan fungsi ruang. Sementara itu, kapasitas ruang di kawasan ini sangat terbatas, sehingga diperlukan perhatian khusus untuk memastikan kelangsungan pelestarian cagar budaya di tengah tekanan perkembangan kota.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kajian lebih mendalam serta tindakan preventif yang cepat agar peningkatan beban tidak semakin mengancam nilai pelestarian kawasan. Selain itu, diperlukan pula sebuah masterplan yang komprehensif guna menata dan mengembangkan kawasan Keraton secara lebih sistematis dengan tetap mengacu pada prinsip pelestarian budaya.

Menurut Ikaputra, Plengkung Nirbaya menghadapi tantangan serius dalam hal kondisi fisiknya. Struktur dinding Baluwarti di sisi selatan menunjukkan tanda-tanda kerusakan, termasuk retakan yang berpotensi meluas hingga ke Plengkung Nirbaya. Kerusakan ini tidak hanya mengurangi nilai estetika bangunan, tetapi juga membahayakan keselamatan pengunjung.

Dinas Kebudayaan DIY telah mengidentifikasi adanya retakan pada lantai yang menyebabkan amblesan hingga sekitar 10 cm. Selain itu, bagian tepi lantai Plengkung Nirbaya juga mengalami kerusakan, dengan pecahan dan kelupasan di beberapa sudut.

Meningkatnya pemanfaatan ruang, termasuk untuk kegiatan pariwisata, turut memperbesar volume lalu lintas di kawasan ini. Hal ini bertolak belakang dengan upaya pengurangan emisi karbon dan perbaikan iklim mikro. Oleh karena itu, konsep traffic calming, yaitu pengurangan intensitas lalu lintas dan peningkatan penggunaan moda transportasi ramah lingkungan seperti sepeda dan jalur pejalan kaki, harus menjadi prioritas di kawasan ini.

"Penanganan Plengkung Nirbaya tidak hanya sebatas perbaikan struktural, tetapi juga harus mempertimbangkan perlindungan terhadap atribut budaya yang ada di dalam njeron beteng. Upaya ini bertujuan untuk mencegah berbagai bentuk kerusakan tanpa mengurangi manfaatnya bagi masyarakat," jelas Ikaputra.

Selain itu, peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang dan objek cagar budaya di kawasan Keraton juga perlu ditata dengan baik. Pengaturan ini akan memastikan keberlanjutan serta manfaat ekonomi yang lebih luas, sekaligus menjaga nilai sejarah dan budaya agar tidak hilang.

"Salah satu strategi utama yang harus diterapkan adalah pembatasan jumlah kunjungan guna menghindari kepadatan yang berpotensi merusak cagar budaya. Langkah konkret yang dapat dilakukan, misalnya dengan membatasi akses kendaraan ke kawasan Keraton, terutama di sekitar Plengkung Nirbaya," tambahnya.

Getaran yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor berdampak negatif pada struktur bangunan berusia ratusan tahun ini. Oleh karena itu, pembatasan arus lalu lintas di kawasan tersebut menjadi langkah preventif yang harus segera diambil, seiring dengan penyusunan masterplan penataan dan pengembangan kawasan.***




© 2025 Dinas Perhubungan D.I. Yogyakarta. All Rights Reserved.